Senin, 16 Februari 2015

MENGENAL MUAMALAH (4-Habis) :

Larangan Muamalah

Larangan Muamalah in Emot

Kita sudah membahas tiga aspek dalam muamalah, yaitu konsep muamalah, sumber hukum, dan prinsip-prinsip yang melekat di dalamnya. Pada ulasan terakhir tentang muamalah ini, tidak afdhal jika topik ini tidak menyinggung hal-hal terlarang dalam kegiatan muamalah.

Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman menerangkan bahwa suatu bentuk muamalah yang baru dan tidak dijumpai dalam muamalah klasik hanya dianggap benar dan sah untuk diterapkan apabila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dilarang dalam syar’i.[1] Adapun prinsip muamalah yang dilarang dalam Islam adalah:
a. Muamalah yang terlarang karena faktor zatnya atau obyek muamalahnya. Terdapat kaidah fikih bahwa “setiap yang diharamkan atas obyeknya, diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya.”[2] Sebagai contoh, Islam mengharamkan pembuatan patung. Dengan demikian, jual-beli patung, baik hiasan maupun untuk peribadatan, diharamkan pula dalam Islam.[3]
b. Muamalah yang diharamkan disebabkan faktor selain zat atau obyek muamalah. Prinsip ini berkaitan dengan mekanisme dalam melaksanakan suatu muamalah. Adapun mekanisme yang dilarang dalam muamalah antara lain meliputi:
  1. tadlis atau penipuan yaitu tindakan secara sengaja menghilangkan informasi pada pihak lain terkait obyek atau hal lain yang menyangkut obyek tersebut,
  2. ikhtikar, yaitu tindakan rekayasa pasar dari sisi penawaran, semisal dengan upaya menghambat distribusi barang dan/atau jasa untuk menciptakan kelangkaan yang berkonsekuensi logis pada kenaikan harga,
  3. bai’ najasy, yaitu kegiatan terlarang berupa rekayasa pasar dari sisi permintaan, semisal  penawaran palsu atas suatu barang dan/atau jasa demi meningkatkan harga barang dan/atau jasa tersebut,
  4. taghrir atau ketidakpastian atau kekaburan dan riba atau tambahan.[4]
c. Muamalah yang dilarang diakibatkan ketidakabsahan atau ketidaklengkapan akad. Kondisi ini mungkin timbul karena rukun dan/atau syarat muamalah tidak terpenuhi atau tidak sesuai. Semisal, dalam sewa-menyewa (ijarah), tidak ditentukan batas waktu sewa. Selain itu, prinsip ini bisa terjadi lantaran ada dua akad atau lebih yang saling terkait (ta’alluq) dan dua akad sekaligus (two in one).[5]

Dalam literatur lain, Agus Rijal mengklasifisir muamalah terlarang dalam syariah Islam meliputi:
a. komoditi atau jasa yang statusnya haram, yaitu usaha yang mengarah pada kemaksiatan. Contoh, sewa-menyewa (ijarah) kasino.
b. maysir, yaitu kepemilikan harta tanpa akad yang diperbolehkan atau melalui permainan. Contoh, spekulasi saham.
c. gharar, yaitu penggunaan akad yang tidak jelas atau menyembunyikan fakta tertentu. Contoh, jual-beli (al-bai') anak sapi yang masih berapa dalam kandungan induknya.
d. riba, yaitu tambahan yang menzalimi atau suatu pertukaran yang tidak memenuhi syarat pada barang-barang ribawi. Contoh, utang-piutang (qardh) dengan tambahan bunga.
e. bay’ al mudhtharr, yaitu mempermainkan harga komoditas tertentu saat seseorang atau komunitas membutuhkan komoditas tersebut (eksploitasi). Contoh, sengaja menjual sembako dengan harga tinggi saat terjadi kelaparan atau kelangkaan.
f. ikraah, yaitu mempermainkan harga dengan paksaan atau tekanan. Contoh, pembeli memaksa menjual mobil dengan harga murah atau akan menerima penyiksaan jika tidak melakukan hal tersebut.
g. ghabn fahisy atau overpricing, yaitu tindakan menaikkan harga di atas ambang kewajaran. Contoh, penjualan beras jauh di atas rata-rata harga pasar.
h. najsy, yaitu mempermainkan harga dengan jalan melakukan penawaran palsu dengan atau tanpa bantuan pihak-pihak tertentu. Contoh, lelang palsu (lebih jelas, silahkan lihat film Armor of God I pada adegan lelang senjata dewa).
i. ihtikar, yaitu memainkan harga melalui tindakan penimbunan. Contoh, penimbunan beras untuk membuat harga beras melambung.
j. ghisy, yaitu menyembunyikan informasi seputar barang atau jasa dalam rangka menjaga nilai (harga) barang atau jasa tersebut. Contoh, sewa-menyewa (ijarah) rumah toko yang masih dalam sengketa dengan ketidaktahuan pihak penyewa atas status rumah toko tersebut.
k. tadliis, yaitu menarik keuntungan melalui tindakan mencampurkan komoditas berkualitas baik dengan komoditas yang kualitasnya tidak baik. Contoh, pengoplosan air zam-zam kemasan dengan air tanah atau air PDAM.
l. dan sebagainya.[6]

Demikianlah bahasan terakhir kita tentang muamalah. Islam sudah memberikan jalan bagi umat manusia untuk meraih kesuksesan finansial dengan jalan yang baik (way of life). Sudah kewajiban bagi kita, khususnya umat Islam, untuk konsisten dan konsekuen dengan ketentuan yang sudah digariskan. Semoga sedikit pengetahuan ini memberikan manfaat bagi kita semua. Masih banyak tema yang akan kita bincangkan dan kita ulas pada kesempatan yang akan datang. Insya Allah.

Sampai jumpa.

Sumber Pustaka :
[1] Veithzal Rivai, Antoni Nizar Usman, Islamic Economic And Finance Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan Pertama Tahun 2012, Hlm. 191.
[2] Ibid., Hlm. 192.
[3] Ibid.
[4] Ibid., Hlm. 192-193.
[5] Ibid., Hlm. 193.
[6] Agus Rijal, Utang Halal, Utang Haram Panduan Berutang dan Sekelumit Permasalahan dalam Syariat Islam, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, Hlm. 44-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik Saran Oke, Makian No Way. Mari Belajar Bersama, Mari Sukses Bersama!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...