Minggu, 15 Februari 2015

MENGENAL MUAMALAH (3) :


Seperti dijanjikan, pada kesempatan ini kita akan melanjutkan ulasan soal muamalah. Seperti direncanakan pula sebelumnya, penulis pada kesempatan ini akan mengulas mengenai prinsip-prinsip yang berlaku dalam muamalah. Ada banyak literatur yang membahas hal ini. Satu literatur menyebutnya prinsip, sedangkan literatur lain menyebutnya asas. Satu di antaranya yang membahas hal ini adalah Fiqh Muamalat karya Ahmad Wardi Muslich.

Dalam literatur tersebut, terdapat empat prinsip dalam muamalah.[1] Keempat prinsip muamalah tersebut adalah:
a. Muamalah adalah urusan duniawi. Prinsip ini membedakan muamalah dengan ibadah. Dalam muamalah, terdapat kaidah fikih yang menjadi dasar praktik muamalah, yaitu:
  1. muamalah itu bebas hingga ada kaidah yang melarangnya.
  2. pada dasarnya seluruh akad dan muamalah sah hukumnya hingga ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya.
  3. semua adat (muamalah) itu dimaafkan (dibolehkan) pada prinsipnya.[2]
Kaidah fikih tersebut lahir disandarkan pada hadist riwayat Imam Muslim dari Anas RA. dan ‘Aisyah RA. Rasulullah SAW., dalam hadist tersebut, pernah bersabda: “kamu sekalian lebih tahu tentang urusan duniamu.”[3]

b. Muamalah harus didasarkan pada suatu persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak. Hal ini dapat dilihat dari Q.S. An-Nisa (4):29 yang sebagian terjemahannya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu....”[4]
Firman Allah SWT. tersebut menjadi landasan diputusnya sebuah kaidah fikih bahwa “kerelaan merupakan dasar semua hukum (muamalah).”[5]

c. Adat kebiasaan (‘urf) dijadikan suatu dasar hukum. Kita dapat merujuk pada salah satu hadist yang bunyinya, “sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik, maka di sisi Allah juga dianggap baik.”[6] Kaidah fikih “adat kebiasaan digunakan sebagai dasar hukum”[7] ini pun terlahir tidak lepas dari hadist ini.

d. Dilarang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Prinsip ini dapat dijumpai dalam hadist Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang lain.”[8] Dari hadist tersebut, dibuatlah sebuah kaidah fikih bahwa “kemudharatan harus dihilangkan.”[9]

Mengutip paparan Djamil, Ismail Nawawi mengemukakan enam asas yang berlaku di dalam muamalah. Asas-asas tersebut adalah
a. asas kebebasan,
b. asas persamaan atau kesetaraan,
c. asas keadilan,
d. asas kerelaan,
e. asas kejujuran dan kebenaran,
f. asas tertulis.[10]
Akan tetapi, jauh lebih utama dibandingkan keenam asas tersebut, ada satu asas utama yang mendasari seluruh aspek muamalah pada khususnya, yaitu asas ilahiah (asas tauhid).[11]

Mohammad Daud Ali juga berupaya memaparkan 18 prinsip yang menjadi asas dalam muamalah. Asas-asas tersebut meliputi asas kebolehan (mubah), asas kemaslahatan hidup, asas kebebasan dan kesukarelaan, asas menolak mudharat dan mengambil manfaat, asas kebajikan (kebaikan), asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat, asas adil dan seimbang, dan asas mendahulukan kewajiban dibandingkan hak.[12]

Selain itu, berlaku pula asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, asas kemampuan berbuat atau bertindak, asas kebebasan berusaha, asas memperolehkan hak karena usaha dan jasa, asas perlindungan hak, asas hak milik berfungsi sosial, asas pihak beritikad baik harus dilindungi, asas risiko terbeban atas harta dan bukan pekerja, asas mengatur dan memberi petunjuk, dan asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.[13] Ada pula prinsip muamalah lainnya, yaitu “segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin” [14] dan “di mana terdapat kemaslahatan di sana terdapat hukum Allah.”[15]

Pada kesempatan berikutnya, insya Allah, kita akan menutup kajian mengenai muamalah dengan membahas hal-hal yang terlarang dilakukan dalam muamalah. Sampai jumpa!


Sumber Pustaka :
[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat Edisi Pertama, Amzah, Jakarta, Cetakan Pertama Tahun 2010, Hlm. 3-6
[2] Ibid., Hlm. 3-5.
[3] Ibid., Hlm. 5.
[4] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, P.T. Bumi Restu, Tanpa Kota, Tahun 1975/1976, Hlm. 122.
[5] Ahmad Wardi Muslich, Op.cit., Hlm. 6.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., Hlm. 6-7.
[9] Ibid., Hlm. 7.
[10] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis, dan Sosial, Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan Pertama Tahun 2012, Hlm. 13.
[11] Ibid.
[12] Ahmad Wardi Muslich, Op.cit., Hlm. 7-9.
[13] Ibid., Hlm. 9-12.
[14] Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, Cetakan Pertama Tahun 2013, Hlm. 28.
[15] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik Saran Oke, Makian No Way. Mari Belajar Bersama, Mari Sukses Bersama!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...