Selasa, 17 Februari 2015

SINKRONISASI HUKUM

Sinkronisasi Or Singkongisasi??


Dalam penelitian hukum normatif (normative legal research), ada banyak kendala yang ditemui peneliti dalam menjalankan tugasnya. Di samping menggali isu hukum, keterbatasan bahan hukum sekunder berupa literatur acapkali membawa masalah. Tak jarang penelitian hukum normatif terpaksa “cuti” berbulan-bulan disebabkan problem tersebut. Hal ini sempat saya rasakan dalam penyelesaian tugas akhir untuk program kesarjanaan ilmu hukum saya.

Dari banyak variabel yang bisa diangkat dalam penelitian hukum normatif, sinkronisasi hukum adalah salah satunya. Saya adalah satu di antara sekian peneliti yang mengambil variabel tersebut. Sebagaimana alinea sebelumnya, hal tersebut menjadi kendala berarti bagi saya.

Sebagai mahasiswa, khususnya calon penegak hukum, kejujuran ilmiah adalah tuntutan yang mutlak harus dipenuhi. Sudah menjadi komitmen saya bahwa setiap sumber yang tercantum sebagai rujukan tugas akhir saya harus dapat dipertanggungjawabkan dan bisa diterima secara ilmiah, minimal secara akademik formal. Kaidah penulisan karya ilmiah tidak memperkenankan penggunaan referensi dari blog pribadi atau situs-situs yang penulis (author) bersifat “keroyokan” atau anonim seperti WikiPedia. Tentu saja hal ini membuat frustasi.

Saya sadar bahwa hukum, terlebih ilmu hukum, harus ditegakkan di bawah pondasi moralitas yang baik. Quid leges sine moribus. Apalah artinya hukum tanpa moralitas. Demikian adagium mensyaratkan. Didorong semangat positif untuk memberikan hasil terbaik, hambatan tersebut akhirnya dapat diselesaikan.

Islam menerangkan, fa inna ma’al-‘usri yusra, inna ma’al-‘usri yusra, “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”[1] (Q.S. Asy-Syarh, 94:5-6). Pada akhirnya saya mendapatkan literatur yang saya butuhkan untuk membuat kajian pustaka soal sinkronisasi hukum. Alhamdulillah.

Mengingat pengalaman tersebut, pada kesempatan ini saya mencoba berbagai kajian pustaka tugas akhir program kesarjanaan ilmu hukum saya mengenai sinkronisasi hukum. Tujuannya BUKAN untuk membuat rekan-rekan berpedoman pada ulasan saya dalam penelitian yang dilakukan, melainkan semata-mata memberikan GAMBARAN konsep sinkronisasi hukum dan PETUNJUK literatur yang dapat digunakan sebagai sumber bacaan. Dalam perjumpaan kita saat ini, mari kita ulas sinkronisasi hukum mulai dari sisi pengertian, maksud dan tujuan, sampai dengan klasifikasinya. Selamat membaca!

Pengertian Sinkronisasi Hukum
Sebelum memahami sinkronisasi hukum sebagai istilah yang baku, perlu kita pahami makna frase tersebut dari sisi etimologis. Sinkronisasi diterjemahan Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring) sebagai “1) perihal menyinkronkan, penyerentakan; 2) penyesuaian antara bunyi (suara) dengan sikap mulut atau mimik (tentang film).”[2] Menyinkronkan itu sendiri diartikan sebagai “menyejajarkan, menyerentakkan”[3] dan sinkron berarti “1) (terjadi atau berlaku) pada waktu yang sama, serentak;  2) sejalan (dengan), sejajar, sesuai, selaras.”[4] Hukum dipahami sebagai:
1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; 4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan), vonis.[5]

Dapat disimpulkan secara leksikal bahwa sinkronisasi hukum ialah tentang upaya menyejajarkan atau menyelaraskan undang-undang, peraturan, adat, dan sebagainya yang dibuat oleh penguasa.

Selanjutnya, mari kita pahami definisi sinkronisasi hukum secara terminologis. Dalam Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan karya Kusnu Goesniadhie S., sinkronisasi dipahami sebagai:
penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.[6]

Sementara itu, dalam Kamus Hukum, mengutip pendapat Van Apeldoorn, Andi Hamzah mengatakan dalam 100 tahun terakhir tidak ditemukan definisi hukum yang memuaskan.[7] Salah satu definisi umum tentang hukum ialah:
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan.[8]

Dari uraian di atas, bisa kita simpulkan bahwa sinkronisasi hukum secara terminologis diformulasikan sebagai upaya penyelarasan dan penyerasian peraturan tertentu, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang dibuat lembaga resmi lainnya serta baik yang telah ada maupun yang sedang dalam proses penyusunan, yang mengatur bidang tertentu.

Maksud dan Tujuan Sinkronisasi Hukum
Ditinjau dari perspektif proses, sinkronisasi hukum tidak dapat dipisahkan dari maksud dan tujuan. Sinkronisasi hukum sejatinya dimaksudkan untuk mencegah adanya tumpang tindih (overlapping) terhadap esensi atau substansi peraturan perundang-undangan. Di samping itu, adanya sikronisasi hukum dimaksudkan agar tercipta suplementasi atau keadaan saling melengkapi, interkorelasi, dan spesifikasi yang menuntut semakin rendahnya derajat atau tingkatan suatu peraturan perundang-undangan, maka sifat dan substansi produk hukum tersebut harus semakin teknis, detail, dan operasional.[9]

Sementara itu, tujuan adanya sinkronisasi sendiri adalah mewujudkan landasan regulasi suatu bidang tertentu. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang memadai dalam tata laksana bidang tersebut secara efektif dan efisien.[10]

Klasifikasi Sinkronisasi Hukum
Secara sederhana, sinkronisasi hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Sinkronisasi Vertikal, yaitu sinkronisasi yang dilakukan dengan mengkaji suatu produk hukum yang berlaku terhadap bidang tertentu tidak dalam keadaan saling bertentangan antara peraturan perundang-undangan satu dan lainnya menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Mudahnya, sinkronisasi vertikal mengkaji semisal suatu peraturan daerah (perda) provinsi bertentangan atau tidak dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  TAP MPR, undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden. Dalam hal terjadi “gesekan,” maka perda tersebut harus menyesuaikan diri.

b. Sinkronisasi Horisontal, yaitu sinkronisasi yang diselenggarakan dengan melihat atau mengkaji produk hukum (peraturan perundang-undangan) tertentu dalam strata (jenis, derajat, atau tingkatan) yang sama, semisal antarundang-undang, bertentangan atau tumpang tindih atau tidak, satu sama lainnya, baik di bidang yang sama. Contoh, dalam kaidah hukum jaminan, perlu dikaji sinkronitas hukum antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Resi Gudang, dan sejenisnya tentang aspek jaminan dan kaidah hukum perjanjiannya. Ketiganya berada pada strata yang sama, yaitu perundang-undangan, sehingga kegiatan penyelarasan dilakukan dengan sinkronisasi horisontal.[11]

Menurut saya, sinkronisasi hukum dapat dilakukan antara produk hukum formal yang dibentuk oleh negara terhadap produk hukum yang dibentuk institusi lain. Hal ini terjadi dalam hal produk hukum yang lahir di luar institusi formal negara memiliki daya ikat dalam keadaan tertentu.

Sebagai contoh, dalam perkembangan hukum kontemporer, hukum ekonomi syariah Indonesia mengenal adanya fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menentukan kedudukan fatwa sebagai sumber hukum yang harus diadopsi oleh undang-undang atau peraturan lainnya agar dapat mengikat secara yuridis formil. Akan tetapi, ada banyak fatwa DSN-MUI yang belum dijadikan sebagai materi pengaturan hukum ekonomi syariah. Semisal mengenai rahn tasjily (dalam perdata Barat lazim disebut fidusia). Kondisi ini menjadi problem. Oleh karenanya, sinkronisasi dapat dilakukan antara peraturan perundang-undangan dengan fatwa DSN-MUI, misalnya, dalam rangka menciptakan kesalingterkaitan dan kesalingmelengkapi sebagai hukum satu sama lain.

Akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian ini sumir dibandingkan pengetahuan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras untuk terus menggali dan mengkaji secara jernih dan ilmiah konsep, tujuan, maksud, dan klasifikasi sinkronisasi hukum. Bukan semata untuk memperkaya wacana, melainkan lebih jauh lagi, hal ini akan membantu dalam proses reformasi hukum dan revolusi penegakan hukum ke arah yang positif secara konsisten-konsekuen dan efektif-efisien.

Sampai jumpa pada bahasan lainnya!

Sumber Pustaka :
[1] Abu Hanifah, Cara Belajar dan Menulis Huruf Al Qur’an dan Terjemahan Juz ‘Amma, P.T. Karya Toha, Semarang, Tanpa Tahun, Hlm. 52.
[2] KBBI Daring, Sinkronisasi, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, (Diakses tanggal 5 Maret 2014).
[3] KBBI Daring, Sinkron, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, (Diakses tanggal 5 Maret 2014).
[4] Ibid.
[5] KBBI Daring, Hukum, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, (Diakses tanggal 5 Maret 2014).
[6] Ruby Qumairi, Sinkronisasi Pasal 36 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan  Kesehatan Terhadap Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Terkait Kerjasama Dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Skripsi tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2014, Hlm. 11.
[7] Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan Pertama Tahun 1986, Hlm. 242.
[8] J. C. T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J. T. Prasetyo, Kamus Hukum, Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan Kelima Tahun 1995, Hlm. 66.
 [9] Ruby Qumairi, Loc.cit.
[10] Umbul Pemenang, Sinkronisasi Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/ 2006 Dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 : Kajian Normatif Kepemilikan Tunggal Saham Perbankan, Skripsi tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2008, Hlm. 41.
[11] Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ketiga Tahun 2011, Hlm. 27-30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik Saran Oke, Makian No Way. Mari Belajar Bersama, Mari Sukses Bersama!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...